Sejarah Kecamatan Majalaya
16 Desember 2023 | Administrator
Sejarah Majalaya
Majalaya, kota yang menyimpan begitu banyak pesona. Keindahan alam yang dimiliki oleh kota ini
memikat pendatang terutama orang Belanda yang salah satu diantaranya adalah William van Kadda
(nama ini diabadikan pada sebuah daerah di Majalaya yaitu Kadatuan/tuan kadda). Dengan dikuapnya
pesona yang digali oleh William van Kadda tersebut, membuat orang berdatangan ke daerah itu
terutama dari daerah Priangan. Pada tahun 1800 secara resmi kota ini didirikan oleh pemerintahan
Belanda.
Pada pertengahan abad ke-19 di kota ini berdiri industri-industri tekstil yang dimotori oleh oleh orang
Belanda namun tidak bertahan lama akibat krisis keuangan yang menimpa dunia pada saat itu berimbas
pada perekonomian Hindia-Belanda. Namun demikian, pada pertengahan abad ke-20 tepatnya tahun
1930-an muncul pengusaha-pengusaha lokal seperti Ondjo Argadinata. Mereka mendirikan industri
tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Keterlibatan buruh-buruh di
pabrik-pabrik tenun pada awal tahun 1930-an memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun
sendiri. Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena
modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para
pengusaha seperti putting out system. Pada masa-masa berikutnya industri tenun rumahan semakin
menjamur di mana-mana. Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka
usaha tenun sendiri. Pada tahun 1937, industri tekstil Majalaya memulai fase baru yang lebih baik
dengan berdiri pabrik ATM pertama di Majalaya, yakni pabrik Tawakal milik H. Abdul Ghani. Dukungan
terhadap perkembangan industri Majalaya semakin membaik, ketika jalur kereta api dari Bandung ke
Majalaya diperluas. Kondisi ini disikapi oleh para pengusaha Cina sebagai peluang untuk berinvestasi,
dengan membangun beberapa pabrik tekstil di Majalaya. Berdirilah pabrik Cina pertama "Bintang Tujuh"
ang diikuti oleh pengusaha Cina lainnya. Inilah awal mula Majalaya mengukirkan sejarah sebagai Kota
Tekstil, yang mampu menghasilkan aneka ragam produk tekstil seperti sarung, kain untuk bahan
pakaian, handuk, benang, kain kasur dan lain-lain. Saat itu betul-betul merupakan masa keemasan bagi
Majalaya. Bahkan dengan kemakmuran yang dimiliki, Majalaya menjadi kota tekstil yang terkenal tidak
hanya di Indonesia bahkan dunia, kota ini pun mendapat julukan baru sebagai Kota Dollar. Kota yang
perputaran uangnya sangat tinggi. Kemajuan dan ketenaran Majalaya sebagai kota kecil penghasil
industri tekstil membuat kepincut Wakil Presiden RI saat itu, Bung Hatta, untuk meninjau secara
langsung keberadaan industri tekstil di Majalaya. Pada tahun 1942, bersamaan dengan penjajahan
Jepang atas Indonesia, kondisi industri tekstil mulai memburuk. Jepang melarang masuknya impor
bahan baku dan bahan pewarna. Bahkan semua industri tekstil di Majalaya diambil alih dan berada di
bawah kontrol yang sangat ketat dari militer Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Majalaya dijadikan
Pemerintah Indonesia sebagai pusat tekstil nasional guna memenuhi kebutuhan sandang, yang waktu
itu masih ditopang dari impor.Memang, pasca-kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1960-an, industri
tekstil Majalaya sempat bangkit kembali. Penelitian Matsuo H (The Development of Javaneses Cotton
Industry, 1970) menyebutkan, industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal 1960-an. Waktu
itu mereka memproduksi 40 persen dari total produksi kain di Indonesia. Akhir 1964, Majalaya
menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin (ATM) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya
terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi tiga desa: Sukamaju,
Padamulya, dan Sukamukti).(Palmer, 1972 dan Matsuo, 1970). Namun, hal ini merupakan kemajuan
secara umum karena jika ditelusuri pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai
kehilangan pengaruhnya dan untuk mempertahankan kelangsungan produksi banyak perusahaan lokal
yang beralih ke sistem maklun. Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena
tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. Namun, peralihan dari Orde Lama ke
Orde Baru (1965-1979) menjadi awal kemunduran tekstil Majalaya. Mereka beralih melakukan kegiatan
usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Saat itu, pemerintahan RI di
bawah kendali Soeharto menerima bantuan dari International Monetery Funds (IMF) dan mengeluarkan
UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ({PMA). Disusul setahun kemudian dengan
dikeluarkannya UU No. 6 tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kenyataan ini
telah menjadi "bom yang mematikan bagi industri tekstil milik pribumi, karena tidak mampu bersaing
dengan para pengusaha tekstil Cina. Baik dalam manajemen, marketing, penguasaan pasar, maupun
permodalan. Inilah awal mula mundurnya industri tekstil kaum pribumi, dan sebagai akhir dari masa
kejayaan yang telah mereka perjuangkan dengan penuh ketekunan, semangat, dan keuletan.
Kemunduran yang dikalahkan oleh sistem dan aturan.Oleh karena itu, pada masa tersebut dapat
dikatkan sebagai masa keemasan Majalaya. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang
dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari
rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Di
era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif
pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya
permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang
dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan
industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya,
ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh
kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi
(Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil Indonesia mengalami kemandekan akibat terlalu besarnya
ekspansi yang dilakukan pada tahun 1970-an. Jumlah produk yang dihasilkan terlalu besar sehingga
pasar domestik mengalami kelebihan pasokan. Tahun 1981-1982 merupakan titik terburuk hingga
memerlukan reorganisasi dan restrukturisasi terhadap keseluruhan industri yang secara terus-menerus
ditekankan di tingkat nasional. Banyak pengusaha kecil di Majalaya mengalami bangkrut. Beberapa
menutup usahanya, sedangkan lainnya mengurangi produksi secara drastis, yaitu hanya menggunakan
50% dari alat tenun yang dimilikinya dan pengurangan jam kerja menjadi 1 shift (7 jam/hari) biasanya 2
shift (10 jam/hari). (Kompas, 30 September 1982 dan UPT, 1983 dalam Hardjono, 1990). Krisis ini
berkaitan dengan dampak resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia yang mengakibatkan daya beli
dalam negeri semakin menurun, proteksi dari negara-negara pengimpor terutama Eropa dan Amerika
Serikat, kesulitan likuiditas, dsb. (Kusnadi, 1985).
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit
bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi
impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar
memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara
teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik. Dengan terbukanya kesempatan
ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga
dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah
yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah
muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak
angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh. Akan
tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak).
Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara
umum industri tekstil Majalaya mulai berada dalam posisi yang lebih baik daripada awal tahun 1980-an.
Mereka mulai meraih keuntungan dari kemunculan pabrik-pabrik besar di berbagai daerah, seperti
Kotamadya Bandung dan kecamatan-kecamatan di Dayeuhkolot, Cimahi, serta Ujungberung.
Mayoritas produsen Majalaya mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga
berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri Industri Majalaya menjadi semakin jauh dari tangan
para pengusaha lokal karena sangat bergantung pada order dari industri-industri besar tersebut.
Sementara risiko yang harus ditanggung cukup tinggi karena mereka harus berurusan langsung dengan
para buruhnya. Segala macam tuntutan buruh tidak ditujukan pada pemberi order, tapi pada penerima
order yang jika diperhatikan dalam keseluruhan rantai produksi yang ada mereka juga dikategorikan
sebagai buruh.
Sejak akhir tahun 1990-an hingga sekarang kondisi industri tekstil di Majalaya menjadi semakin
menurun, terutama pada industri skala menengah ke bawah yang banyak dimiliki oleh para pengusaha
lokal. Terlebih lagi ketika terjadi kebakaran pasar Tanah Abang bulan Februari lalu. Kejadian tersebut
sangat memukul kegiatan pemasaran mereka karena Tanah Abang merupakan jalur pemasaran utama
bagi produk-produk tekstil lokal Majalaya.
Peta Majalaya
Majalaya adalah suatu kecamatan dari berlokasi di Bandung selatan, tempatnya sangat strategis,
karena berdekatan dengan dengan Kotamadya dan Kabupaten Bandung yang dihubungkan oleh
Bale Endah dan Dayeuh Kolot, dekat dengan Cicalengka yang menghubungkan dengan tasik dan
Garut, dengan Cileunyi yang bisa dilanjutkan ke Rancaekek & Sumedang, Berdekatan dengan
PLTA Kawah Kamojang, berdekatan dengan Cibeureum dan Perkebunan Teh Pangalengan, kota
majalaya ini dilalui juga dengan Sungai Citarum yang bermula (hulu) dari Gunung Wayang. dan juga
dihapit oleh Gunung Gede, Papandayan, dan Kamojang.
Peta Kota Majalaya
Kota Majalaya merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kota
Majalaya terletak di bagian timur Kabupaten Bandung. Berbatasan dengan Kecamatan Ciparay dan
Solokan Jeruk di sebelah utara; Paseh dan Ibun di sebelah timur; Pacet di sebelah selatan; dan Ciparay di
sebelah barat.
Kota Majalaya berjarak sekitar 32 km sebelah timur Kota Soreang (ibukota Kabupaten Bandung), dan 26
km arah tenggara Kota Bandung (ibukota Provinsi jawa Barat). Kota Majalaya meliputi 10 desa seperti
yangdapat dilihat pada peta:
Kesebelas desa tersebut ialah Bojong, Majakerta, Majasetra, Majalaya, Sukamaju, Padamulya, Padaulun,
Sukamukti, Wangisagara, Neglasari dan Biru.